index

PARADIGMA PENDIDIKAN

Post Terbaru

Kapamalian

Written By Unknown on Selasa, 08 Juli 2014 | 13.50

Dalam bahasa Sunda, “pamali” merupakan kata sifat. Kata ini sinonim dengan kata “pantrang” dan “cadu” yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan pantang atau tabu (Inggris: taboo). Kata bendanya adalah “kapamalian”. Kata ini semakna dengan pantrangan (pantangan) danpanyaraman (larangan). Kapamalian berarti sesuatu yang dianggap pamali yang kalau dilanggar akan ada matak-nya (menyebabkan sesuatu) menurut kepercayaan karuhun. Dengan demikian, yang membedakan kapamalian dengan larangan lainnya ialah pada matak-nya itu, yakni akibat yang dipercaya kelak akan menimpa seseorang atau sesuatu bila larangan itu dilanggar. Matak-nya ini ada yang diyakini akan berdampak pada diri si pelanggar, ada pula yang akan berpengaruh pada lingkungannya. Jika teman saya di atas memiliki mertua cerewet, mungkin dahulunya ia pernah melanggar kapamalian: Pamali milihan sérah tina nyiru paduaan, matak boga mitoha céréwéd (pamali memilih gabah dari nyiru berdua, sebab kelak akan mendapat mertua cerewet).

Matak sebuah kapamalian acap kali sulit diterima langsung secara rasional. Itulah sebabnya generasi sekarang tidak begitu menghiraukannya, sebagaimana tercermin pada dua ilustrasi di atas. Oleh sebagian orang, bahkan kapamalian ini acap dijadikan guyonan. Menurutnya, pamali itu berasal dari bahasa Arab. Dengan menirukan para santri ngalogat kitab, mereka pun mengartikannya, “FAMA, maka ari perkara, éta LI, keur kuring”(perkara itu buat saya). Dalam pengertian ini, sesuatu dikatakan pamalikarena hanya boleh diperbuat oleh orang (tua) yang mengatakannya. Bukan untuk orang lain.
Boleh jadi, kapamalian ini memang semata-mata berdasarkan pada kepercayan, kalaupun bukan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, ataupun ada maksud lain tertentu di baliknya. Menurut sementara orang, konon, kapamalian merupakan cara orang tua di masa lalu dalam menakut-nakuti anaknya. Kelaziman di masa dulu, anak akan lebih takut pada hal yang gaib, belum tentu terjadi, ketimbang pada hal-hal yang nampak atau nyata
Orang bijak tentu punya pandangan lain ihwal kapamalian ini. Sepanjang ia sulit dipahami secara rasional, salah satu caranya ialah dengan mengambil maknanya yang tersembunyi. Ia tidak lagi dipahami dalam pengertian hakiki (leterlek), melainkan dalam pengertian majaji (kiasan). Begitulah lumrahnya jika seseorang tidak ingin kehilangan adat dan tradisi leluhurnya, sementara ia sendiri enggan menelannya secara mentah-mentah.
Bagaimanapun orang memahami kapamalian, yang jelas ia merupakan cara orang tua dalam mendidik generasinya. Di dalamnya sarat akan nilai-nilai budi pekerti, pemeliharaan lingkungan hidup, serta kesehatan jasmani dan rohani. Dengan mengikuti kapamalian, seorang anak diharapkan dapat mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Kendatipun ungkapan kapamalian yang ditujukan khusus bagi anak-anak tidak bisa diselami oleh pikiran anak itu, tetapi pada masanya boleh jadi sangat berguna ketika konsep pendidikan yang lebih baik belum terumuskan.
Bagi masyarakat sekarang, mengikuti kapamalian merupakan sesuatu yang tidak ada salahnya. Bahkan, kendati tanpa menghiraukan dahulu makna-makna simbolisnya. Kenyataannya, kapamalian ini sesungguhnya sangat mungkin dijabarkan secara ilmiah. Ia bisa dilihat dari sudut pandang ilmu kedokteran, biologi, fisika, astronomi, dll., tergantung jenis ungkapan kapamaliannya itu. Inilah tugas kita yang memandang kapamalian sebagai buah pengamatan, kajian, penelitian, pengalaman, serta pengetahuan para orang tua di masa lalu yang panjang dan mendalam. Bukan semata-mata berdasarkan kepercayaan mereka pada hal-hal gaib nan mistis.

Hopongan

LEBIH baik mati daripada hutan habis. Biar berapapun orang yang mau membayar, untuk  merelakan hutan  di tebang, kami tidak mau,” dengan nada bergetar Marituha berujar. Marituha merupakan Tumenggung Orang Rimba dari kelompok Sungai Terab yang bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).

Perkataan Tumenggungg Marituha menggambarkan betapa berharganya hutan bagi dirinya dan Orang Rimba lainnya yang kini kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan akibat pembabatan hutan. Bahkan ketiadaan tempat melangsungkan kehidupan menghantui Orang Rimba yang terbiasa hidup berpindah-pindah.

Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat yang hidup di hutan-hutan sekunder di Provinsi Jambi, yang hidup dari berburu dan meramu hasil hutan. Dahulu Orang Rimba bisa hidup tenang karena ruang jelajah mereka sangat luas, namun seiring dengan semakin maraknya alih fungsi hutan menjadi HPH, HTI, perkebunan sawit dan trasmigrasi, ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Bagi Orang Rimba di Bukit Duabelas, satu-satunya kelompok hutan yang masih terisa hanyalah Taman Nasional Bukit Duabelas. Padahal dahulunya disekeliling taman nasional ini juga merupakan wilayah hidup dan berpenghidupan Orang Rimba. Namun yang terjadi saat ini adalah penghancuran wilayah hidup mereka.

Dengan semakin banyaknya pohon yang ditebang, ekosistem yang berada di hutan juga semakin terancam. Tidak hanya hewan harus menerima kenyataan sulit untuk mempertahankan hidupnya, namun Orang Rimba yang segalanya bergantung pada hutan juga harus mampu mengatur strategi untuk mempertahankan sumber penghidupannya, supaya kondisinya tidak seperti saat ini . dimana, kondisi hutan sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sedikitnya enam belas perusahaan di kawasan TNBD telah mengubah hutan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI.

Dulunya ada sekitar 100 ribu hektar hutan yang berada di kawasan TNBD, namun kini hanya tersisa 60 ribu hektar yang menjadi sumber penghidupan Orang Rimba.   Wilayah TNBD sendiri masuk tiga kabupaten, yakni Sarolangun, Batanghari, dan Tebo. Sedangkan untuk Sungai Terab secara administrasi masuk Desa Jeluti, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari. 

Untuk menghadang semakin luasnya ekspansi perambahan hutan, Orang Rimba membuat Hompongan. Hompongan adalah lahan yang bentuknya memanjang dan ditanami karet dan tanaman lainnya. pembuatan hompongan ini menjadi batas sekaligus penyangga hutan TNBD. Warga luar atau perusahaan  dilarang keras membuka hutan melewati hompongan tersebut. Selain tujuan utama hompongan untuk mempertahankan keberadaan hutan, ternyata konsep kearifan lokal itu sejalan dengan progam Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang jauh terpikirkan oleh Orang Rimba sebelum isu deforestasi dalam negosiasi UNFCCC pada COP-11 di Montreal tahun 2005 dibawah agenda pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang (RED) yang kemudian berlanjut pada konferensi para pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 yang telah menghasilkan rencana aksi Bali (Bali Action Plan). Yakni rencana atau peta jalan negosiasi strategi global, yang mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim.

Bagi Orang Rimba tak penting apakah hompongan yang dibuat itu sekeren progam REDD, namun yang dipahami adalah bagaimana hutan tidak terus dihabisi, karena ulah manusia. “Ketika hutan terus digunduli, kehidupan kami merasa terancam. Sejak tahun 1999 kami mulai membuat hompongan, supaya kami bisa terus hidup dari adanya hutan,” kata Tumenggung Marituha sembari mengisahkan lika-liku dibalik pembuatan hompongan tersebut. “Meski ide hompongan ini dari kami sendiri, namun awalnya kami sempat menolak. Karena tanaman yang ada di hompongan itu tidak sesuai dengan adat yang kami pakai secara turun temurun dari nenek moyang,” ujarnya.

Salah satu tumbuhan yang ditanam di hompongan tersebut yaitu pohon karet unggul. Adat Orang Rimba pantang menanam pohon yang ditanam oleh orang desa. Kalaupun ditanami pohon karet, harusnya karet alami yang tumbuh di hutan. Hompongan sendiri tersebar di beberapa kawasan TNBD, dan setiap tempat luasnya beragam, mulai dari 4 hektar hingga 20 hektar. Saat ini dari beberapa hompongan tersebut telah menghasilkan uang dari pohon karet yang sudah bisa disadap.
Meski saat ini terbentang ratusan hektar hompongan, namun bukan berarti membuat tenang akan ancaman habisnya hutan. Ketidakberdayaan melawan perusahaan menjadi persoalan tersendiri bagi Orang Rimba, karena adat yang digunakan Orang Rimba tak jarang terabaikan masyarakat luar.

Tumenggung Marituha mencontohkan, ada beberapa pohon yang menurut adat Orang Rimba tidak boleh ditebang. Seperti kayu Tenggeris, kayu Mentubung, kayu Sialang Kedondong. Hukum adat yang berlaku, siapapun yang menebang pohon tersebut di denda 60 keping kain, bahkan harga satu pohon katanya sama dengan harga satu nyawa manusia. Belum lagi tanah pasoron atau tempat pekuburan, yang juga tidak boleh dibabat. “Sebenarnya banyak kawasan yang kami anggap miliki kami, dimana dalam area tersebut terdapat pohon yang menurut adeat kami tidak boleh ditebang. Namun oleh perusahaan, dengan seenaknya menghabisi pohon tersebut. Pernah kami minta denda, namun yang diberikan tidak sesuai,” sambil menatap rerimbunan hutan, dirinya terus bercerita.

Melalui konsep hompongan itu, kedepan Orang Rimba bertekad supaya perambahan dan pembabatan hutan untuk kepentingan ekonomi sesaat dapat diminimalisir, bahkan tidak ada lagi sama sekali. “Ini bukan hanya kepentingan kita saat ini, tapi untuk anak cucu kita nanti,” tegasnya. Sementara itu,Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi (KKI) Warsi Jambi, Rudi Syaf menyatakan, keberlangsungan hutan harus terus dipertahankan. Isu kehutanan dan perubahan iklim menjadi isu utama dalam berbagai diskusi terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Sekitar 18 persen, hutan berperan menyumbang emisi, akibat alih fungsi lahan dan hutan untuk dijadikan kawasan HTI maupun perkebunan. Bahkan katanya , berdasarkan data setiap tahunnya 13 juta hutan tropis hilang.

“Konsep hompongan yang dibuat Orang Rimba sangat erat kaitannya dengan pengurangan emisi dan perubahan iklim. Apakah hal itu disadari atau tidak disadari oleh Orang Rimba. Namun yang terpenting adalah bagaimana peran yang dilakukan itu mendapat apresiasi,” ungkapnya. Menjadi sebuah tantangan tersendiri menurutnya, karena skema penerapan dan cara kerja REDD yang belum sepenuhnya mengatur hak dan kompensasi penduduk asli yang hidup serta matapencahariannya bergantung pada hutan, seperti halnya Orang Rimba. Perancang REDD harus sepenuhnya meperhatikan memperhatikan hak masyarakat tradisional yang memainkan peran penting dalam proses pengurangan emisi tersebut. “Selama ini belum ada peraturan yang menjamin hak dan imbal balik bagi masyarakat tradisional yang mengelola hutan kecil seperti hompongan tersebut,” kata Rudi.

Pada prinsipnya katanya, lembaga, pemerintah atau masyarakat lokal yang berhasil mencegah deforetasi dan degradasi hutan mendapat insentif dari penerapan REDD, termasuk masyarakat Rimba yang mengelola hompongan. Melalui surat elektronik yang kami kirimkan, Ari Wibowo, Bidang Perlindungan Hutan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan mengatakan,  Prinsip REDD adalah mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan serta mendapatkan kompensasi dari berapa besar hutan yang diselamatkan atau dijaga dibandingkan dengan kalau hutan tersebut tidak dijaga (business as usual).  “Sampai saat ini mekanisme REDD yang wajib (compliance) masih dalam tahap pengembangan melalui COP-UNFCCC dan prinsipnya masyarakat lokal tidak dirugikan serta mendapatkan keuntungan dari REDD,” sebutnya.

Sedangkan, besaran  kompensiasi kepada masyarakat lokal belum diatur , karena sistemnya  menurutnya dinegosiasikan dengan pengembang proyek REDD.  Sehingga, masyarakat lokal perlu sosialisasi tentang REDD. Begitupun dengan mekanisme REDD yang hanya memperhitungkan berapa emisi yang bisa diturunkan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi. “Jadi tidak memperhitungkan nilai lahan” imbuhnya. Kata dia, pemerintah seharusnya juga  melaksanakan program REDD pada kawasan yang ingin dijaga kelestariannya sebagai hutan. “Yang menjadi isu penting adalah izin kegiatan REDD melekat pada izin yang sudah diberikan pada kawasan tersebut,” jelasnya lagi.

Halasan Tulus, kepala TNBD mengakui, sejauh ini pihaknya belum mendapatkan intruksi langsung dari pemerintah daerah maupun pusat mengenai pelaksanaan progam REDD. Meski demikian, sudah beberapa kali dirinya mendapatkan sosialisasi dari lembaga pecinta lingkungan. Kaitannya dengan hompongan yang berada di TNBD, dirinya mengaku mendukung apa yang dilakukan Orang Rimba untuk mencegah laju perambahan hutan tersebut. Begitupun nantinya jika memang REDD sudah berjalan efektif. “Yang paling penting masyarakat dilibatkan. Kita merancang bersama mekanismenya, termasuklah hompongan yang dikelola Orang RImba,” ujarnya.
Sejauh ini katanya, untuk  hutan yang berada di kawasan TNBD, pihaknya selalu melakukan pengawasan secara intens, dengan melakukan patroli secara rutin, supaya tidak ada pihak yang melakukan perambahan masuk hingga area TNBD.

Meski demikian, keanggotaan yang dimiliki sangat minim yang hanya berjumlah 44 orang, sehingga pihaknya bekerjasama dengan kepolisian kehutanan, masyarakat maupun pecinta lingkungan untuk melakukan pengawasan di kawasan TNBD. Halasan Tulus menegaskan jika sejauh ini tidak ada perusahaan yang overlap melakukan kegiatan hingga ke kawasan TNBD. Namun untuk aktivitas yang dilakukan perorangan dirinya tidak menyangkal masih ada, dengan alasan sulit terpantau. Yang justru perlu dikhawatirkan katanya, orang luar yang memiliki kepentingan ekonomi tinggi, sehingga hutan yang selama ini dijaga, bisa saja terjual. “Hal seperti ini sangat mungkin terjadi. Nominal uang yang cukup banyak terkadang menggiurkan masyarakat tradisional, sehingga hutan sebagai tempat tinggalnya bisa saja dijual,” katanya.
Sementara, kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Batanghari, Suhabli menyatakan, jika Dishut sifatnya hanya sebagai pengawas untuk kawasan yang berada di TNBD. “Untuk kawasan yang berada di TNBD itu ada pengelolanya sendiri, kami hanya sebatas pengawas saja,” ungkapnya.

Sumber : http://www.metrojambi.com/v1/daerah/3880-hompongan-kearifan-lokal-untuk-kearifan-global.html

Quantum learning

Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme).

Power Coercive

Power Coercive (strategi pemaksaan) adalah strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat pengaruhnya dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya.

Apakah Cita - citamu ingin jadi Pemulung?

Nilai  - nilai Pansacila terutama sila ke 5 yaitu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mungkin harus kita garis bawahi dalam topik  kali ini. Keadilan yang dimaksud  bisa dalam bidang hukum, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Semua bidang tersebut seharusnya dapat berjalan secara beriringan dan berkesinambungan agar semua rakyat dapat merasakan secara merata, namn setiap ada usaha pasti ada suatu kelemahan yag dialami, salah satunya dari bidang pendidikan.
Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun merupakan suatu tahapan minimal dalam jenjang Pendidikan di Indonesia.
Selama 9 tahun tersebut siswa diharapkan sudah menguasai Ilmu - ilmu yang dapat diterapkan dan diomplementasikan dalam kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut pasti banyak kendala yang dihadapi, salah satunya adalah tingkat ekonomi suatu peserta didik.
Ekonomi yang kurang pastilah akan membuat seseorang lebih mementingkan  memenuhi kebutuhannya tersebut dari pada harus duduk belajar. Sering kita lihat anak - anak yang seharusnya masih ada dalam bangsu sekolah harus bekerja membantu orang tuanya untuk menyambung hidup. Sangat miris adalah kata yang tepat untuk menggambarkan hal tersebut dimana Anak - anak tersebut yang seharusnya ada di Sekolah menuntut Ilmu untuk masa depannya kelak harus pergi mencari nafkah.
Demikianlah realita pendidikan di Indonesia,  walaupun Kemdikbud sudah membebaskan seluruh biaya sekolah dalam jenjang Dikdas ( SD, MI, SMP, MTs ) tapi mereka harus tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka diluar jam sekolah.

Rambu Solo

Rambu Solo adalah pesta atau upacara kedukaan /kematian. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Bagi keluarga yang ditinggal wajib membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Setelah melewati serangkaian acara, si mendiang di usung menggunakan Tongkonan (sejenis rumah adat khas Toraja) menuju makam yang berada di tebing-tebing dalam goa. Nama makamnya adalah pekuburan Londa.
Yang unik dari upacara rambu solo adalah pembuatan boneka kayu yang dibuat sangat mirip dengan yang meninggal dan diletakkan di tebing.Uniknya lagi… konon katanya, wajah boneka itu kian hari kian mirip sama yang meninggal

Ayo Berlatih Membuat Karya Tulis Ilmiyah

Karya ilmiah (bahasa Inggris: scientific paper) adalah laporan tertulis dan diterbitkan yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.

Ada berbagai jenis karya ilmiah, antara lain laporan penelitian, makalah seminar atau simposium, dan artikel jurnal yang pada dasarnya kesemuanya itu merupakan produk dari kegiatan ilmuwan. Data, simpulan, dan informasi lain yang terkandung dalam karya ilmiah tersebut dijadikan acuan bagi ilmuwan lain dalam melaksanakan penelitian atau pengkajian selanjutnya.

Di perguruan tinggi, khususnya jenjang S1, mahasiswa dilatih untuk menghasilkan karya ilmiah seperti makalah, laporan praktikum, dan skripsi (tugas akhir). Skripsi umumnya merupakan laporan penelitian berskala kecil, tetapi dilakukan cukup mendalam. Sementara itu, makalah yang ditugaskan kepada mahasiswa lebih merupakan simpulan dan pemikiran ilmiah mahasiswa berdasarkan penelaahan terhadap karya-karya ilmiah yang ditulis oleh para pakar dalam bidang persoalan yang dipelajari. Penyusunan laporan praktikum ditugaskan kepada mahasiswa sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan menyusun laporan penelitian.

Normative-Re-Educative

Normative-Re-Educative (Pendidikan yang berulang secara normatif) Jenis strategi inovasi yang ketiga adalah normatif re-edukatif (pendidikan yang berulang) adalah suatu strategi inovasi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud,John Dewey, Kurt Lewis dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya (1991), yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan pembaharuan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia Dalam pendidikan, sebuah strategi bila menekankan pada pemahaman pelaksana dan penerima inovasi, maka pelaksanaan inovasi dapat dilakukan berulang kali. Misalnya dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi berulang kali melaksanakan perubahan-perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan dengan hasil dari perubahan itu sendiri. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi yang dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan berkali-kali agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat tercapai
Desentralisasi dan Demokratisasi pendidikan. Pertama, desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan. Desentralisasi lebih kepada kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kedua, desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah. Konsep pertama berkaitan dengan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah sebagai bagian demokratisasi. Konsep kedua lebih fokus mengenai pemberian kewenangan yang lebih besar kepada manajemen di tingkat sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Aku tidak punya ruang kelas !

APBN dan alokasi anggaran 20% untuk pendidikan memanglah sangat besar, banyak cara untuk menyalurkan anggaran tersebut untuk pendidikan seperti untuk diklat pendidik dan tenaga kependidikan, pembelian buku sekolah, biaya operasional sekolah, pembangunan infrastruktur pendidikan dan lain sebagainya.
Instansi - instansi Pendidikan yang berada di wilahay  pulau Jawa pasti sudah merasakan anggaran tersebut, tetapi apa yang dirasakan Instansi Pendidikan di daerah terpencil dan pelosok sangat miris untuk diperhatikan.
Kurangnya Buku materi pelajaran, Kualitas pengajar yang tidak pernah didiklat, sarana dan prasarana yang kurang bahkan tidak ada membuat penyelenggaraan Pendidikan dilaksanakan apa adanya. Semangat anak bangsa yag sangat bersemangat dan antusias dalam bekajar tidak diimbangi dengan sarana dan prasarana yang mencukupi. Ruang kelas yang teduh, nyaman dan menyenangkan adalah impian meraka anak - anak bangsa yang berjuang untuk mendapatkan hak pendidikan dari Negara Indonesia.
Banyak faktor yang mempengaruhi tidak meratanya pembangunan Pendidikan di seluruh penjuru Tanah Air Indonesia, sarana transportasi dan letak geografis yang sangat sulit ditebus membuat pemerataan pembangunan ini terhambat. Kedepannya diharapkan pembangunan infrastruktur bidang apapun harus merata agar pendidikanpun juga bisa dirasakan oleh masyarakat terpencil di seluruh Indonesia.

Rational Empirical

RationalEmpirical (empirik rasional) . Asumsi dasar dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping itu, startegi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik seperti apa yang dikatakan oleh Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk (1991). Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, berkaitan dengan situasi dan kondisi bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. Di berbagai bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untukbidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbualan-bulan bahkan bertahun-tahun. Inovasi yang demikian memberi dampak yang lebih baik dari pada model inovasi yang pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi tersebut.
Sebelumnya 12345678 Selanjutnya
 
Support : Pelita Pendidikan
Copyright © 2011. Pelita Pendidikan - All Rights Reserved
Template Modified by Pelita Pendidikan
Proudly powered by Blogger