Post Terbaru

Tampilkan postingan dengan label Serba-serbi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Serba-serbi. Tampilkan semua postingan

Pendidikan Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan

Written By Unknown on Selasa, 08 Juli 2014 | 13.58

PAKEM adalah singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.  Aktif dimaksudkan bahwa dalam proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. . Keadaan aktif dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak menghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung, sebab pembelajaran memiliki sejumlah tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika pembelajaran hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tersebut tak ubahnya seperti bermain biasa.
Kendala-kendala yang mempengaruhi keberhasilan usaha inovasi pendidikan seperti inovasi kurikulum antara lain adala:

 perkiraan yang tidak tepat terhadap inovasi  konflik dan motivasi yang kurang seha lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi kurang adanya hubungan sosial dan publikasi (Subandiyah 1992:81)

Untuk menghindari masalah-masalah tersebut di atas, dan agar mau berubah terutama sikap dan perilaku terhadap perubahan pendidikan yang sedang dan akan dikembangkan, sehinga perubahan dan pembaharuan itu diharapkan dapat berhasil dengan baik, maka guru, administrator, orang tua siswa, dan masyarakat umumnya harus dilibatkan
Ada beberapa hal mengapa inovasi secara umum sering ditolak atau tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah sebagai berikut:

    Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan,penciptaan dan bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi sekolah mereka.
    Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai dengan pikiran mereka.Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru tetap mempertahankan sistem yang ada.
    Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat (khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang mengatakan bahwa “mismatch atory program”.
    Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.
    Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan kemauan mereka dan situasi sekolah mereka Untuk mengatasi masalah dan kendala seperti diuraikan di atas, maka berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan inovasi baru.



Sumber : http://evanurhasanah.wordpress.com/about/

Kapamalian

Dalam bahasa Sunda, “pamali” merupakan kata sifat. Kata ini sinonim dengan kata “pantrang” dan “cadu” yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan pantang atau tabu (Inggris: taboo). Kata bendanya adalah “kapamalian”. Kata ini semakna dengan pantrangan (pantangan) danpanyaraman (larangan). Kapamalian berarti sesuatu yang dianggap pamali yang kalau dilanggar akan ada matak-nya (menyebabkan sesuatu) menurut kepercayaan karuhun. Dengan demikian, yang membedakan kapamalian dengan larangan lainnya ialah pada matak-nya itu, yakni akibat yang dipercaya kelak akan menimpa seseorang atau sesuatu bila larangan itu dilanggar. Matak-nya ini ada yang diyakini akan berdampak pada diri si pelanggar, ada pula yang akan berpengaruh pada lingkungannya. Jika teman saya di atas memiliki mertua cerewet, mungkin dahulunya ia pernah melanggar kapamalian: Pamali milihan sérah tina nyiru paduaan, matak boga mitoha céréwéd (pamali memilih gabah dari nyiru berdua, sebab kelak akan mendapat mertua cerewet).

Matak sebuah kapamalian acap kali sulit diterima langsung secara rasional. Itulah sebabnya generasi sekarang tidak begitu menghiraukannya, sebagaimana tercermin pada dua ilustrasi di atas. Oleh sebagian orang, bahkan kapamalian ini acap dijadikan guyonan. Menurutnya, pamali itu berasal dari bahasa Arab. Dengan menirukan para santri ngalogat kitab, mereka pun mengartikannya, “FAMA, maka ari perkara, éta LI, keur kuring”(perkara itu buat saya). Dalam pengertian ini, sesuatu dikatakan pamalikarena hanya boleh diperbuat oleh orang (tua) yang mengatakannya. Bukan untuk orang lain.
Boleh jadi, kapamalian ini memang semata-mata berdasarkan pada kepercayan, kalaupun bukan berdasarkan pengalaman, pengetahuan, ataupun ada maksud lain tertentu di baliknya. Menurut sementara orang, konon, kapamalian merupakan cara orang tua di masa lalu dalam menakut-nakuti anaknya. Kelaziman di masa dulu, anak akan lebih takut pada hal yang gaib, belum tentu terjadi, ketimbang pada hal-hal yang nampak atau nyata
Orang bijak tentu punya pandangan lain ihwal kapamalian ini. Sepanjang ia sulit dipahami secara rasional, salah satu caranya ialah dengan mengambil maknanya yang tersembunyi. Ia tidak lagi dipahami dalam pengertian hakiki (leterlek), melainkan dalam pengertian majaji (kiasan). Begitulah lumrahnya jika seseorang tidak ingin kehilangan adat dan tradisi leluhurnya, sementara ia sendiri enggan menelannya secara mentah-mentah.
Bagaimanapun orang memahami kapamalian, yang jelas ia merupakan cara orang tua dalam mendidik generasinya. Di dalamnya sarat akan nilai-nilai budi pekerti, pemeliharaan lingkungan hidup, serta kesehatan jasmani dan rohani. Dengan mengikuti kapamalian, seorang anak diharapkan dapat mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Kendatipun ungkapan kapamalian yang ditujukan khusus bagi anak-anak tidak bisa diselami oleh pikiran anak itu, tetapi pada masanya boleh jadi sangat berguna ketika konsep pendidikan yang lebih baik belum terumuskan.
Bagi masyarakat sekarang, mengikuti kapamalian merupakan sesuatu yang tidak ada salahnya. Bahkan, kendati tanpa menghiraukan dahulu makna-makna simbolisnya. Kenyataannya, kapamalian ini sesungguhnya sangat mungkin dijabarkan secara ilmiah. Ia bisa dilihat dari sudut pandang ilmu kedokteran, biologi, fisika, astronomi, dll., tergantung jenis ungkapan kapamaliannya itu. Inilah tugas kita yang memandang kapamalian sebagai buah pengamatan, kajian, penelitian, pengalaman, serta pengetahuan para orang tua di masa lalu yang panjang dan mendalam. Bukan semata-mata berdasarkan kepercayaan mereka pada hal-hal gaib nan mistis.

Hopongan

LEBIH baik mati daripada hutan habis. Biar berapapun orang yang mau membayar, untuk  merelakan hutan  di tebang, kami tidak mau,” dengan nada bergetar Marituha berujar. Marituha merupakan Tumenggung Orang Rimba dari kelompok Sungai Terab yang bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD).

Perkataan Tumenggungg Marituha menggambarkan betapa berharganya hutan bagi dirinya dan Orang Rimba lainnya yang kini kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan akibat pembabatan hutan. Bahkan ketiadaan tempat melangsungkan kehidupan menghantui Orang Rimba yang terbiasa hidup berpindah-pindah.

Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat yang hidup di hutan-hutan sekunder di Provinsi Jambi, yang hidup dari berburu dan meramu hasil hutan. Dahulu Orang Rimba bisa hidup tenang karena ruang jelajah mereka sangat luas, namun seiring dengan semakin maraknya alih fungsi hutan menjadi HPH, HTI, perkebunan sawit dan trasmigrasi, ruang hidup Orang Rimba semakin sempit. Bagi Orang Rimba di Bukit Duabelas, satu-satunya kelompok hutan yang masih terisa hanyalah Taman Nasional Bukit Duabelas. Padahal dahulunya disekeliling taman nasional ini juga merupakan wilayah hidup dan berpenghidupan Orang Rimba. Namun yang terjadi saat ini adalah penghancuran wilayah hidup mereka.

Dengan semakin banyaknya pohon yang ditebang, ekosistem yang berada di hutan juga semakin terancam. Tidak hanya hewan harus menerima kenyataan sulit untuk mempertahankan hidupnya, namun Orang Rimba yang segalanya bergantung pada hutan juga harus mampu mengatur strategi untuk mempertahankan sumber penghidupannya, supaya kondisinya tidak seperti saat ini . dimana, kondisi hutan sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Sedikitnya enam belas perusahaan di kawasan TNBD telah mengubah hutan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dan HTI.

Dulunya ada sekitar 100 ribu hektar hutan yang berada di kawasan TNBD, namun kini hanya tersisa 60 ribu hektar yang menjadi sumber penghidupan Orang Rimba.   Wilayah TNBD sendiri masuk tiga kabupaten, yakni Sarolangun, Batanghari, dan Tebo. Sedangkan untuk Sungai Terab secara administrasi masuk Desa Jeluti, Kecamatan Bathin XXIV, Kabupaten Batanghari. 

Untuk menghadang semakin luasnya ekspansi perambahan hutan, Orang Rimba membuat Hompongan. Hompongan adalah lahan yang bentuknya memanjang dan ditanami karet dan tanaman lainnya. pembuatan hompongan ini menjadi batas sekaligus penyangga hutan TNBD. Warga luar atau perusahaan  dilarang keras membuka hutan melewati hompongan tersebut. Selain tujuan utama hompongan untuk mempertahankan keberadaan hutan, ternyata konsep kearifan lokal itu sejalan dengan progam Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang jauh terpikirkan oleh Orang Rimba sebelum isu deforestasi dalam negosiasi UNFCCC pada COP-11 di Montreal tahun 2005 dibawah agenda pengurangan emisi dari deforestasi di negara berkembang (RED) yang kemudian berlanjut pada konferensi para pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 yang telah menghasilkan rencana aksi Bali (Bali Action Plan). Yakni rencana atau peta jalan negosiasi strategi global, yang mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim.

Bagi Orang Rimba tak penting apakah hompongan yang dibuat itu sekeren progam REDD, namun yang dipahami adalah bagaimana hutan tidak terus dihabisi, karena ulah manusia. “Ketika hutan terus digunduli, kehidupan kami merasa terancam. Sejak tahun 1999 kami mulai membuat hompongan, supaya kami bisa terus hidup dari adanya hutan,” kata Tumenggung Marituha sembari mengisahkan lika-liku dibalik pembuatan hompongan tersebut. “Meski ide hompongan ini dari kami sendiri, namun awalnya kami sempat menolak. Karena tanaman yang ada di hompongan itu tidak sesuai dengan adat yang kami pakai secara turun temurun dari nenek moyang,” ujarnya.

Salah satu tumbuhan yang ditanam di hompongan tersebut yaitu pohon karet unggul. Adat Orang Rimba pantang menanam pohon yang ditanam oleh orang desa. Kalaupun ditanami pohon karet, harusnya karet alami yang tumbuh di hutan. Hompongan sendiri tersebar di beberapa kawasan TNBD, dan setiap tempat luasnya beragam, mulai dari 4 hektar hingga 20 hektar. Saat ini dari beberapa hompongan tersebut telah menghasilkan uang dari pohon karet yang sudah bisa disadap.
Meski saat ini terbentang ratusan hektar hompongan, namun bukan berarti membuat tenang akan ancaman habisnya hutan. Ketidakberdayaan melawan perusahaan menjadi persoalan tersendiri bagi Orang Rimba, karena adat yang digunakan Orang Rimba tak jarang terabaikan masyarakat luar.

Tumenggung Marituha mencontohkan, ada beberapa pohon yang menurut adat Orang Rimba tidak boleh ditebang. Seperti kayu Tenggeris, kayu Mentubung, kayu Sialang Kedondong. Hukum adat yang berlaku, siapapun yang menebang pohon tersebut di denda 60 keping kain, bahkan harga satu pohon katanya sama dengan harga satu nyawa manusia. Belum lagi tanah pasoron atau tempat pekuburan, yang juga tidak boleh dibabat. “Sebenarnya banyak kawasan yang kami anggap miliki kami, dimana dalam area tersebut terdapat pohon yang menurut adeat kami tidak boleh ditebang. Namun oleh perusahaan, dengan seenaknya menghabisi pohon tersebut. Pernah kami minta denda, namun yang diberikan tidak sesuai,” sambil menatap rerimbunan hutan, dirinya terus bercerita.

Melalui konsep hompongan itu, kedepan Orang Rimba bertekad supaya perambahan dan pembabatan hutan untuk kepentingan ekonomi sesaat dapat diminimalisir, bahkan tidak ada lagi sama sekali. “Ini bukan hanya kepentingan kita saat ini, tapi untuk anak cucu kita nanti,” tegasnya. Sementara itu,Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi (KKI) Warsi Jambi, Rudi Syaf menyatakan, keberlangsungan hutan harus terus dipertahankan. Isu kehutanan dan perubahan iklim menjadi isu utama dalam berbagai diskusi terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD). Sekitar 18 persen, hutan berperan menyumbang emisi, akibat alih fungsi lahan dan hutan untuk dijadikan kawasan HTI maupun perkebunan. Bahkan katanya , berdasarkan data setiap tahunnya 13 juta hutan tropis hilang.

“Konsep hompongan yang dibuat Orang Rimba sangat erat kaitannya dengan pengurangan emisi dan perubahan iklim. Apakah hal itu disadari atau tidak disadari oleh Orang Rimba. Namun yang terpenting adalah bagaimana peran yang dilakukan itu mendapat apresiasi,” ungkapnya. Menjadi sebuah tantangan tersendiri menurutnya, karena skema penerapan dan cara kerja REDD yang belum sepenuhnya mengatur hak dan kompensasi penduduk asli yang hidup serta matapencahariannya bergantung pada hutan, seperti halnya Orang Rimba. Perancang REDD harus sepenuhnya meperhatikan memperhatikan hak masyarakat tradisional yang memainkan peran penting dalam proses pengurangan emisi tersebut. “Selama ini belum ada peraturan yang menjamin hak dan imbal balik bagi masyarakat tradisional yang mengelola hutan kecil seperti hompongan tersebut,” kata Rudi.

Pada prinsipnya katanya, lembaga, pemerintah atau masyarakat lokal yang berhasil mencegah deforetasi dan degradasi hutan mendapat insentif dari penerapan REDD, termasuk masyarakat Rimba yang mengelola hompongan. Melalui surat elektronik yang kami kirimkan, Ari Wibowo, Bidang Perlindungan Hutan dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan mengatakan,  Prinsip REDD adalah mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan serta mendapatkan kompensasi dari berapa besar hutan yang diselamatkan atau dijaga dibandingkan dengan kalau hutan tersebut tidak dijaga (business as usual).  “Sampai saat ini mekanisme REDD yang wajib (compliance) masih dalam tahap pengembangan melalui COP-UNFCCC dan prinsipnya masyarakat lokal tidak dirugikan serta mendapatkan keuntungan dari REDD,” sebutnya.

Sedangkan, besaran  kompensiasi kepada masyarakat lokal belum diatur , karena sistemnya  menurutnya dinegosiasikan dengan pengembang proyek REDD.  Sehingga, masyarakat lokal perlu sosialisasi tentang REDD. Begitupun dengan mekanisme REDD yang hanya memperhitungkan berapa emisi yang bisa diturunkan melalui pencegahan deforestasi dan degradasi. “Jadi tidak memperhitungkan nilai lahan” imbuhnya. Kata dia, pemerintah seharusnya juga  melaksanakan program REDD pada kawasan yang ingin dijaga kelestariannya sebagai hutan. “Yang menjadi isu penting adalah izin kegiatan REDD melekat pada izin yang sudah diberikan pada kawasan tersebut,” jelasnya lagi.

Halasan Tulus, kepala TNBD mengakui, sejauh ini pihaknya belum mendapatkan intruksi langsung dari pemerintah daerah maupun pusat mengenai pelaksanaan progam REDD. Meski demikian, sudah beberapa kali dirinya mendapatkan sosialisasi dari lembaga pecinta lingkungan. Kaitannya dengan hompongan yang berada di TNBD, dirinya mengaku mendukung apa yang dilakukan Orang Rimba untuk mencegah laju perambahan hutan tersebut. Begitupun nantinya jika memang REDD sudah berjalan efektif. “Yang paling penting masyarakat dilibatkan. Kita merancang bersama mekanismenya, termasuklah hompongan yang dikelola Orang RImba,” ujarnya.
Sejauh ini katanya, untuk  hutan yang berada di kawasan TNBD, pihaknya selalu melakukan pengawasan secara intens, dengan melakukan patroli secara rutin, supaya tidak ada pihak yang melakukan perambahan masuk hingga area TNBD.

Meski demikian, keanggotaan yang dimiliki sangat minim yang hanya berjumlah 44 orang, sehingga pihaknya bekerjasama dengan kepolisian kehutanan, masyarakat maupun pecinta lingkungan untuk melakukan pengawasan di kawasan TNBD. Halasan Tulus menegaskan jika sejauh ini tidak ada perusahaan yang overlap melakukan kegiatan hingga ke kawasan TNBD. Namun untuk aktivitas yang dilakukan perorangan dirinya tidak menyangkal masih ada, dengan alasan sulit terpantau. Yang justru perlu dikhawatirkan katanya, orang luar yang memiliki kepentingan ekonomi tinggi, sehingga hutan yang selama ini dijaga, bisa saja terjual. “Hal seperti ini sangat mungkin terjadi. Nominal uang yang cukup banyak terkadang menggiurkan masyarakat tradisional, sehingga hutan sebagai tempat tinggalnya bisa saja dijual,” katanya.
Sementara, kepala Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten Batanghari, Suhabli menyatakan, jika Dishut sifatnya hanya sebagai pengawas untuk kawasan yang berada di TNBD. “Untuk kawasan yang berada di TNBD itu ada pengelolanya sendiri, kami hanya sebatas pengawas saja,” ungkapnya.

Sumber : http://www.metrojambi.com/v1/daerah/3880-hompongan-kearifan-lokal-untuk-kearifan-global.html

Quantum learning

Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme).

Rambu Solo

Rambu Solo adalah pesta atau upacara kedukaan /kematian. Adat istiadat yang telah diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun. Bagi keluarga yang ditinggal wajib membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.
Setelah melewati serangkaian acara, si mendiang di usung menggunakan Tongkonan (sejenis rumah adat khas Toraja) menuju makam yang berada di tebing-tebing dalam goa. Nama makamnya adalah pekuburan Londa.
Yang unik dari upacara rambu solo adalah pembuatan boneka kayu yang dibuat sangat mirip dengan yang meninggal dan diletakkan di tebing.Uniknya lagi… konon katanya, wajah boneka itu kian hari kian mirip sama yang meninggal

Ayo Berlatih Membuat Karya Tulis Ilmiyah

Karya ilmiah (bahasa Inggris: scientific paper) adalah laporan tertulis dan diterbitkan yang memaparkan hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati oleh masyarakat keilmuan.

Ada berbagai jenis karya ilmiah, antara lain laporan penelitian, makalah seminar atau simposium, dan artikel jurnal yang pada dasarnya kesemuanya itu merupakan produk dari kegiatan ilmuwan. Data, simpulan, dan informasi lain yang terkandung dalam karya ilmiah tersebut dijadikan acuan bagi ilmuwan lain dalam melaksanakan penelitian atau pengkajian selanjutnya.

Di perguruan tinggi, khususnya jenjang S1, mahasiswa dilatih untuk menghasilkan karya ilmiah seperti makalah, laporan praktikum, dan skripsi (tugas akhir). Skripsi umumnya merupakan laporan penelitian berskala kecil, tetapi dilakukan cukup mendalam. Sementara itu, makalah yang ditugaskan kepada mahasiswa lebih merupakan simpulan dan pemikiran ilmiah mahasiswa berdasarkan penelaahan terhadap karya-karya ilmiah yang ditulis oleh para pakar dalam bidang persoalan yang dipelajari. Penyusunan laporan praktikum ditugaskan kepada mahasiswa sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan menyusun laporan penelitian.

Repong damar

Pohon damar adalah jenis pohon yang dapat menghasilkan produksi komoditas unggulan.  Jenis damar yang banyak di Pekon Pahmungan, Lampung Barat adalah damar mata kucing.
Repong damar ini merupakan contoh keberhasilan sistem yang dirancang dan dilaksanakan tanpa perencanaan yang sistematis.  Masyarakat melakukannya sendiri secara turun temurun tanpa bantuan dan masukan dari pemerintah.  Ternyata tradisi ini terbukti mampu dikelola dengan baik secara turun temurun sampai generasi saat ini.

Pelestarian repong damar ini banyak sekali keuntungan yang diperoleh baik secara ekonomis maupun lingkungan hidup karena pengelolaannya unik. Sistem repong diyakini mampu merekonstruksi ekosistem hutan dan lahan pertanian, juga menguntungkan dalam jangka panjang akan mendatangkan keuntungan ekonomi memiliki landasan sosial yang kokoh. Repong damar dapat dianalisa sebagai hutan tropis.

Namun kondisi repong damar yang ada saat ini sangat memprihatinkan, dimana penebangan pohon damar yang akhir-akhir ini marak disebabkan kurangnya kesadaran pelestarian akan pohon ini. Hanya karena alasan ekonomi dan kepentingan sesaat pohon ditebang dan kemudian dijual kayunya. Sementara itu sebatang pohon damar untuk menghasilkan produksi damar memerlukan 25-30 tahun baru berproduksi.

upacara wiwitan

Masyarakat Pedukuhan Geden, Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah, menggelar upacara tradisi wiwitan panen, Minggu (13/4/2014). Hal itu sebagai upaya menjaga kelestarian tradisi petani saat memasuki masa panen padi tersebut.

Acara dimulai dengan iring-iringan masyarakat yang mengenakan pakaian adat Jawa menyusuri jalan pedukuhan. Mereka menuju areal persawahan dengan membawa empat buah nasi tumpeng dan satu gunungan berisi hasil bumi.

Konsep Pendidikan dan Pengajaran

Pada abad 20 pastilah terjadi perkembangan dalam segala bidang, dimana pada era sekarang beda dengan era jaman dulu yang sangan kaku dan tidak bebas, Saat ini banyak muncul berbagai teknologi yang sangat canggih yang berakibat wilayah kerja manusi dalam suatu bidang tertentu akan berkurang karena digantikan oleh mesin - mesin yang mampu bekerja 24 jam tanpa henti.

Perkembangan tersebut pastinya juga akan terasa dalam dunia pendidikan, jaman yang dalam pembelajarannya siswa hanya terpusat dengan apa yang disampaikan oleh guru sekarang sudah bergeser dimana siswa sekarang lebih aktif dan guru hanya membimbing dan mengarahkan agar siswa lebih paham akan materi yang disampaikan.

Apabila kita meneliti dunia pendidikan dalam praktek, masih banyak dijumpai guru-guru yang beranggapan bahwa pekerjaan mereka tidak lebih dari menumpahkan air ke dalam botol kosong. Namun yang sebenarnya terjadi dalam proses belajar mengajar dan sering tidak disadari oleh para guru adalah hubungan yang tidak sekedar memberi dan menerima materi, melainkan ada banyak aspek yang lalu memberikan kontribusi dalam perkembangan siswa dari sisi emotional quotient. Dengan begitu maka sebenarnya pekerjaan mengajar bukanlah sekedar mengisi botol kosong, melainkan lebih seperti memproduksi minuman botol. Jadi selain mengisi dengan air, sebelumnya juga harus mencetak wadah yang memadai agar selanjutnya bisa menampung isinya dengan baik.

Guru yang benar-benar berhasil adalah guru yang menyadari bahwa ia mengajarkan sesuatu kepada manusia-manusia yang berharga dan berkembang. Dengan kesadaran semacam ini dikalangan pendidik, hal itu sudah memberikan harapan agar guru-guru menghormati pekerjaan mereka sebagai guru. Pekerjaan guru lebih bersifat psikologis daripada pekerjaan seorang dokter, insinyur, atau ahli hukum. Untuk itu, guru hendaknya mengenal anak didik serta menyelami kehidupan jiwa anak didik sepanjang waktu. Guru hendaknya tidak jemu dengan pekerjaannya, meskipun dia tidak dapat menentukan atau meramalkan secara pasti tentang bentuk manusia yang bagaimanakah yang akan dihasilkan di kelak kemudian hari. Proses pekerjaan seperti ini merupakan kenyataan, bahwa pekerjaan guru tidak pernah mengetahui sejauh mana hasil akhir dari pekerjaannya. Namun dengan perencanaan dan proses yang baik serta terkontrol maka diharapkan akan menghasilkan manusia-manusia yang siap menghadapi perkembangan jaman.

Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI


Paradigma  ilmu  dirumuskan  oleh  Kuhn  sebagai  kerangka  teoritis,  atau  suatu  cara  memandang  dan  memahami  alam,  yang  telah  digunakan  oleh    komunitas  ilmuwan  sebagai  pandangan  dunianya.  Paradigma  ilmu  ini  berfungsi  sebagai  lensa,  sehingga  melalui lensa ini para ilmuwan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah  dalam  bidang  masing-masing  dan  jawaban-jawaban  ilmiah  terhadap  masalah-masalah  tersebut. 

 
Support : Pelita Pendidikan
Copyright © 2011. Pelita Pendidikan - All Rights Reserved
Template Modified by Pelita Pendidikan
Proudly powered by Blogger